Kamis, 14 Juni 2012

Goresan Pena Mahasiswa

Mahasiswa. Sebuah prestise tersendiri yang memberikan kebanggaan bagi mereka yang menyandangnnya. Posisi tersebut memberikan ruang yang begitu luas untuk membuat sebuah perubahan besar. Kata “maha” sungguh luar biasa maknanya karena dari sisi jumlah hanya sedikit dari kelas sosial di masyarakat secara umum. Adalah sebuah konsekuensi logis dari masyarakat bahwa setiap mahasiswa harus memberikan kebermanfaatan yang lebih besar dari amal dan karya yang diciptakan. Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang mampu meluruskan bengkokknya peradaban negeri ini yang telah dikooptasi oleh para komprador-komprador busuk. Dengan nilai moral sebagai suatu garis pembeda, suara mahasiswa lebih murni untuk meneriakkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, fakta hari ini bahwa mahasiswa seolah kehilangan jati dirinya sebagai perubah dan penerus estafet perjuangan di bumi pertiwi. Sifat hedonis, opurtunis, matrealistis, individualis, dan apatis menjadikan mereka jauh dari kehidupan rakyat kecil yang notabene menunggu suatu perubahan dari kaum yang telah “tercerahkan”. Ironis, bahwa raja adil yang masyarakat tunggu sebagai pembawa perubahan tidak kunjung hadir. Tatakala kehidupan rakyat semakin sulit, mahasiswa seolah tidak hadir dalam ruang kehidupan mereka. Seakan ada garis pembeda antara mahasiswa dan rakyat kecil. Mahasiswa semakin eksklusif dan sulit dijangkau. Agen perubahan hanya narasi basa-basi yang menjadi romantisme sejarah masa lalu. Adakah yang salah dari mahasiswa saat ini. Keperkasaan mahasiswa sebagai “agen perubah” seperti macan ompong yang kehilang pijakan. Mahasiswa hari ini sudah tidak memiliki kemampuan dalam membaca realitas sosial kehidupan masyarakat secara lebih dekat sehingga tidak ada lagi kemampuan dalam membuat gerakan-gerakan yang bersifat cerdas dan masif untuk membuat transformasi sosial. Mahasiswa menjadi mandul dalam hal ide dan gagasan produktif untuk mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap masyarakat. Pada titik ini, sebagai seorang mahasiswa penulis menyadari bahwa ada yang salah dari pola berfikir mahasiswa secara keseluruhan. Sistem yang ada menciptkan mahasiswa yang “cerdas” tetapi tidak “mencerdaskan”. Pola pikir pragmatis telah menyerang mahasiswa secara umum. Hal ini terlihat dari gejala mahasiswa yang fokus dengan nilai akademik tinggi dan lulus cepat kemudian bekerja dan dapat gaji yang tinggi. Tidak ada yang salah dari hal ini sejujurnya. Namun, di tengah kondisi bangsa yang sedang mangalami “kekacauan” dalam kerangka berfikir dan kehidupan sosial, ada tanggung jawab moral sebagai seorang mahasiswa untuk menjawab tantangan rakyat secara lebih konkrit. Dari awal berdirinya bangsa ini, mahasiswa merupakan garda terdepan dalam setiap perubahan arus zaman yang dilaluinya. Saat ini, ada beban peradaban yang diberikan rakyat kepada mahasiswa sebagai “kaum tercerahkan” untuk mengembalikan koridor kebangsaan pada jalur yang benar sesuai amanat konstitusi, kehidupan yang aman, rakyat yang cerdas dan sejahtera, serta keadilan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Tentunya, sesuai dengan kapasitas dan kapabilatas yang dimiliki sebagai seorang mahasiswa. Membangun Budaya Intelektualitas Mahasiswa merupakan kaum cendekia yang memiliki konsepsi dan kapasitas intelektual yang mapan. Artinya, “kaum tercerahkan” harus memiliki kemampuan bernalar yang kuat dengan rasionalitas yang tinggi sehingga mampu membaca realitas sosial yang terjadi di sekitar mereka. Matanya harus tajam melihat potret buram dari kondisi kehidupan yang marginal. Telinganya lebih peka terhadap jeritan rakyat. Tangannya tidak pernah berhenti berbagi. Kakinya tidak putus melangkah untuk membangun peradaban yang lebih baik bagi ibu pertiwi. Intelektualitas menjadi tidak bermakna apabila dikooptasi untuk sekedar “prestise” diri. Nilai intelektual hanya akan tereduksi semakin jauh ketika mahasiswa hanya mencari gelar akademik an sich. Masih banyak variabel masalah sosial yang menunggu jawaban dari kaum cendikia. Untuk memperkuat kemapanan intelektualitas dan menjaga ritme common sense terhadap kondisi sekitar, tradisi mahasiswa seperti membaca, menulis, dan berdiskusi perlu digerakkan kembali secara lebih masif di kalangan mahasiswa sehingga kampus tidak menjadi menara gading yang sulit untuk dijangkau. Mahasiswa merupakan komponen dari bangsa ini yang sejak awal dipersiapkan untuk memperbaiki jalannya roda kebangsaan. Jangan menjadi seorang pemimpin yang ketika amanah hadir dihadapannya lari sebelum selesai karena tidak siap memimpin sejak awal. Setiap bangsa yang besar hadir dari sebuah kecintaan rakyatnya yang begitu membahana terhadap negaranya. Dalam konteks keindonesian, rasa kepedulian terhadap sesama merupakan langkah awal menuju pemerataan kehidupan masyarakat secara utuh menuju keadilan sosial yang dicita-citakan bersama. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, ada trilogi gerakan yang dapat dilakukan meliputi gerakan vertikal, horizontal, dan diagonal. Gerakan vertikal dilakukan untuk melakukan kontrol dan penyeimbang terhadap pemangku kepentingan terhadap paket kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatur kehidupan publik secara lebih luas. Entitas mahasiswa memiliki posisi tawar yang kuat dalam mengembalikan kehidupan publik yang dieksploitasi kelompok kepentingan agar tetap berada pada koridor konstitusi sosial yang telah disepakati sejak awal negeri ini berdiri. Posisi mahasiswa sangat menguntungkan karena sebagai kalangan terdidik dapat disejajarkan intelektualitasnya dengan pemangku kepentingan sehingga dapat diterima, di sisi lain mahasiswa merupakan kalangan yang oleh sebagian besar masyarakat disimbolkan sebagai kelas sosial tersendiri yang mampu membuat sesuatu menjadi berbeda. Secara mekanisme, substansi gerakan vertikal dimaksudkan untuk menganalisis kebijakan yang memarjinalkan kehidupan publik secara struktural. Instrumen gerakan yang digunakan oleh mahasiswa antara lain membuka ruang kajian dan focus group discussion (FGD) secara periodik dan intens, audiensi untuk meminta pandangan kepada stekholder terkait yang memiliki perspektif berbeda, lobi dan negoisasi kepada pemangku kebijakan, advokasi terhadap keresahan bersama yang disesuaikan dengan harapan rakyat yang lebih besar. Jika semua saluran tertutup, maka aksi massa merupakan jalan terakhir untuk mengingatkan pemerintah agar segera kembali pada koridor kebangsaan yang benar. Dalam melakukan gerakan mahasiswa harus mengedapankan nilai intelektualitas dalam mensetting target, cerdas secara sistem, dan elegan dari sisi cara sehingga efektifitas dan efisiensi gerakan tetap terjaga dengan baik. Sebagai penutup, penulis bermaksud menyampaikan bahwa mahasiswa merupakan kelas terdidik yang aktualisasi dirinya sedang ditunggu publik yang lebih luas. Transformasi sosial adalah sebuah keniscayaan sejarah ketika kemiskinan, kejahatan, dan konflik masih menjadi problem sosial yang belum kunjung terselesaikan. Pada titik ini, mahasiswa merupakan ujung tombak perubahan dari struktur masyarakat yang termarginalkan oleh kebijakan kaum penguasa. Dengan kapasitas intelektualitas, moral, dan nilai kebenaran yang dijungjung tinggi oleh seorang mahasiswa, aliran semangat menuju transformasi sosial begitu memuncak memenuhi seluruh aliran darah sehingga menimbulkan keyakinan yang begitu mendalam bahwa perubahan itu masih ada. Di tangan mahasiswalah pada akhirnya transformasi sosial dibebankan untuk segera ditunaikan menjadi amal dan karya besar sejarah. Wahai mahasiswa Indonesia, mari membuat Ibu Pertiwi bangga karena memiliki kita sebagai anak zamannya. Berubah atau mati...