Jumat, 15 November 2013

Penentuan Arah Rebah

artikel ini sama dengan artikel di blog ane yg satunya gan,
jadi ane punya dua blog,
ini link-nya
http://muhkhoirulm11b.student.ipb.ac.id/

Penentukan arah rebah merupakan hal yang sangat penting dalam penebangan pohon. Jika arah rebah salah maka keuntungan yang akan didapatkan akan menurun, selain itu kesalahan penetuan arah rebah mampu membuat kerusakan pada pohon, tiang dan tumbuhan bawah sekitar pohon yang ditebang sehingga penentuan arah rebah ini sangat penting diketahui.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemetuan arah rebah pohon yang akan ditebang beberapa diataranya seperti kecondongan tajuk, dari faktor kecondongan tajuk sebaiknya operator chainsaw (Chainsawmen) menentukan arah rebah ke sisi tajuk yang memiliki kecondongan yang lebih besar daripada tajuk pada sisi lain. Selain itu hal yang perlu diperhatikan selain kecondongan tajuk ialah kemiringan batang pohon, dari faktor ini Chainsawmen diharapkan merebahkan pohon ke arah kemiringan batang utama pada pohon yang akan ditebang. Kemudian hal yang penting dalam penentuan arah rebah ialah arah angin, Chainsawmen diharapkan merebahkan pohon ke arah angin yang terjadi pada saat penebangan tersebut. Selain hal ini hal yang perlu diperhatikan ialah tegakan bawah seperti tiang dan tumbuhan bawah disekitar pohon yang akan di tebang, sebaiknya Chansawmen tidak merebahkan pohon ke arah tegakan bawah tersebut agar tegakan bawah tersebut  tidak rusak dan mampu tumbuh sampai besar hingga mampu dimanfaatkan dimassa yang akan datang. Selain faktor-faktor diatas yang perlu diperhatikan ialah kecuraman daerah sekitar penebangan, diharapkan praktikan tidak menebang ke arah daerah yang curam agar pohon yang di tebang tidak rusak dan yang terpenting ialah agar operator chainsaw selamat.

Daftar Pustaka

Mujetahid A. 2008. Produktivitas Penebangan Pada Hutan Jati (Tectona grandis) Rakyat di Kabupaten Bone. Makassar: Lab. Pemanenan dan Pembukaan Wilayah Hutan Universitas Hasanuddin.

Keterbukaan Lahan

artikel ini sama dengan blog ane yg satunya gan,
ini link-nya
http://muhkhoirulm11b.student.ipb.ac.id/

Kerusakan dan Keterbukaan lahan dalam penebangan merupakan hal yang tidak bisa dihindari (Purwodidodo 1999). Kerusakan dan keterbukaan lahan ini disebabkan karena adanya proses penebangan dan penyaradan. Area yang terbuka akibat penebangan merupakan luasan daerah yang terbuka akibat penebangan pohon berikut rebahnya vegetasi lain disekitar pohon yang ditebang (Nasution 2009). Sedangkan area yang terbuka akibat penyaradan merupakan luasan lahan yang terbuka akibat bulldozer atau bekas lintasan batang kayu yang disarad (Nasution 2009).
Keterbukaan lahan yang sangat luas ini disebabkan dengan adanya penebangan yang berlebihan dan perencanaan jalan sarad yang kurang baik selain itu meningkatnya intensitas penyaradan cenderung meningkatkan luas keterbukaan lahan. Menurut penelitian Thaib (1986) menunjukkan bahwa keterbukan lahan akibat pemanenan kayu dengan menggunakan Buldozer dipengaruhi oleh jumlah pohon yang ditebang dalam per satuan luas, kemeringan lapangan dan faktor manajemennya. Luas areal yang terbuka disebabkan terutama oleh kegiatan penebangan dan penyaradan.
Pada proses penebangan tidak hanya akan membuka lahan akan tetapi akan merusak vegetasi yang lain yang terdapat disekitar pohon yang ditebang, seperti kerusakan semai, kerusakan tiang dan kerusakan pada pohon disekitar akibat rebahnya pohon yang ditebang. Mengetahui keterbukaan lahan dan keterbukaan lahan ini sangat diperlukan dalam pemanenan hutan terutama dalam hal bisnis karena untuk mengetahui seberapa besar lingkungan yang telah rusak akibat adanya pemanenan dan berapa biaya yang diperlukan untuk mengembalikan lingkungan tersebut seperti semula hingga bisa dimanfaakan untuk jangka waktu yang lebih lama. Selain itu mengetahui kerusakan dan keterbukaan lahan sangat bermanfaat untuk mengetahui berapa persen tumbuhan yang masih berpotensi untuk tumbuh dan dimanfaatkan dimassa yang akan datang.
Pada praktikum kali ini praktikan mendapatkan hasil keterbukaan lahan akibat penyaradan sebesar 24,913 m2 dengan persentase 0,996%. Dan mendapatkan angka kerusakan pada kerusakan pohon sebesar 1,449 %, kerusakan tiang sebesar 5,6 %, kerusakan pancang sebesar 1,09 % dan kerusakan semai sebesar 4,97 % dengan total kerusakan 13,109 %. Pada keterbukaan lahan mendapatkan angka yang relatif kecil karena praktikan memilih penyaradan pada area yang relatif lebih sedikit semai, tiang dan pohonnya sehingga mampu meminimalisir keterbukaan lahan yang ada. Akan tetapi pada angka kerusakan akibat penebangan mendapatkan hasil relatif lebih besar karena pohon yang raktikan tebang berada di tengah-tengah tiang, pancang dan semai.


Daftar Pustaka
Nasution AK. 2009. Keterbukaan Areal dan Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Kegiatan Penebangan dan Penyaradan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Purwowidodo. 1999. Pokok-Pokok Bahsan Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Bogor: IPB Press.

Thaib, J. 1986. Pengaruh Intensitas Penebangan dan Kelerangan Terhadap Keterbukaan Tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Volume 2 No:4. Puslitbang Hutan. Bogor.

Analisis Data Curah Hujan

ini juga gan, artikel ini didapat dari blog ane yg satunya
ini link-nya
http://muhkhoirulm11b.student.ipb.ac.id/

Air merupakan substansi paling melimpah di bumi ini serta air merupakan komponen terpenting bagi semua makhluk hidup. Maka terdapat cabang ilmu yang mempelajari sifat dan karakteristik air, kejadian, distribusi dan gerakan air yang disebut Hidrologi (Indarto, 2010). Unsur Hidrologi yang dominan di suatu wilayah adalah curah hujan.
Curah Hujan merupakan tingi air hujan (dalam mm) yang diterima dipermukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan/perembesan ke dalam tanah. Untuk menghitung curah hujan ada beberapa tekhnik, tekhnik yang aling sederhana adalah dengan gelas ukur. Gelas ukur diletakkan didepan halaman atau tempat terbuka lainnya, cara menghitungnya dengan melihat satuan cm (centimeter), mm (milimeter) atau inchi persatuan waktu. Umumnya  cara dengan gelas ukur ini dilakukan dengan hitungan hari. Untuk menghitung data curah hujan wilayah umumnya menggunakan metode interpolasi geostatistik diantaranya metode rata-rata aljabar, poligon thiessen, metode Isohyet, inversi distance dan kriging (Indarto, 2010).

Metode yang pertama yaitu metode rata-rata aljabar, metode ini paling sederhana karena metode ini yang menggunakan rata-rata dari seluruh stasiun penakar hujan yang ada di dalam DAS. Metode yang kedua adalah dengan Metode poligon thiessen, pada metode ini mengasumsikan bahwa tebal hujan di stasiun hujan (penakar hujan) yang terdekat jaraknya, terletak di dalam atau di deket DAS. Interpolasi dilakukan dengan membuat batas luas satuan yang jaraknya sama untuk setiap stasiun. Metode selanjutnya yaitu Metode Isohyet pada metode ini.

Interpretasi Visual

ini dari blog ane yang satunya gan,
ini alamatnya


Informasi penggunaan lahan terutama lahan yang terdapat dalam kawasan hutan mempunyai arti penting dalam menetukan rencana, kebijakan dan manajemen pada penggunaan kawasan hutan tersebut agar kawasan hutan tetap lestari dan mampu memberikan manfaat yang optimal bagi kehidupan manusia. Dalam perkembangan pembangunan yang sangat pesat seperti saat ini mengetahui penggunaan kawasan hutan merupakan suatu hal yang diperlukan, mengingat semakin bertambahnya jumlah manusia dengan kebutuhannya yang sangat berkembang sehingga memungkinkan dengan adanya penyebab tersebut mendesak manusia untuk membuka lahan di dalam kawasan hutan. Untuk meminimalisir dan mencegah  terbukanya lahan maka diperlukan ilmu menginterpretasi foto udara untuk mengetahui penggunaan lahan didalam kawasan hutan (Harimurti 1999).
Menurut Susanto (1979) interpretasi berhubungan dengan mengidentifikasi objek.  terdapat beberapa tahap dalam menginterpretasi foto udara yaitu diantaranya identifikasi dan delinasi. Identefikasi merupakan pengejaan foto yakni mengenali objek yang langsung nampak berdasarkan pengetahuan lkal atau pengetahuan tertentu. Sedangkan delinasi merupakan upaya penarikan batas pemisah berupa garis antara dua satuan objek yang berbeda dan berdampingan (Susanto 1979).
Terdapat dua cara interpretasi citra yaitu secara visual-manual dan digital (komputer) ( Sugiarto 2013). Interpretasi  secara manual-visual, sebagaimana arti katanya, merupakan metode interpretasi yang didasarkan pada hasil penyimpulan visual terhadap ciri-ciri spesifik obyek pada citra yang dikenali dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, tekstur, dan lokasi obyek. Metode ini disebut sebagai metode manual karena penafsirannya dilakukan oleh manusia sebagai interpreter. Proses interpretasi dapat saja menggunakan bantuan komputer untuk digitasi on screen, namun identifikasinya tetap dilakukan secara manual. 

Beberapa unsur yang diidentifikasi dalam menginterpretasi foto udara diantaranya unsur dasar yaitu warna dan susunan keruangan yang terdiri dari ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi. Unsur dasar dalam interpretasi yang pertama yaitu warna, warna merupakan tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek pada citra. Warna dapat membedakan antara objek satu dengan yang lainnya misalnya mampu membedakan antara warna pemukiman dengan vegetasi. Unsur interpretasi selanjutnya yaitu bentuk, bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu objek. Unsur interpretasi selanjutnya yaitu ukuran. Ukuran merupakan atribut objek berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Unsur interpretasi selanjutnya ialah tekstur. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona pada citra, umumnya tekstur dibedakan menjadi tekstur halus atau tekstur kasar. Unsur selanjutnya yaitu pola, pola merupakan susunan keruangan suatu objek atau bentuk suatu objek. Bayangan merupakan unsur interpretasi selanjutnya, bayangan bersifat menyembunyikan detai atau objek yang berada di daerah gelap. Objek atau gejala terletak di daerah banyangan pada umumnya tidak tampak sama sekali. Meskipun demikian bayangan sering membantu engenalan terhadap suatu objek yang diamati. Asosiasi merupakan unsur terakhir, asosiasi ini dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek satu dengan yang lainnya. Adanya keterkaitan ini membantu interpreter memprediksi suatu objek yang berada didekat objek yang telah diketahui (Sutrisno 2010).

Sabtu, 30 Maret 2013

Penanganan Organisme Pengganggu Dengan Insektisida

Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang sangat beragam yang terdapat di hutan alam maupun hutan tanaman yang tersebar di seluruh nusantara. Tapi yang menjadi kendala kehutanan Indonesia dalam mengelola hutan secara lestari adalah dengan tersebarnya organisme pengganggu tanaman yang mau tidak mau harus perhatian yang serius. Pada dasarnya setiap jenis tanaman disenangi menjadi inang jenis organisme pengganggu tertentu dan jika dibiarkan dapat tersebar secara eksplosif, hal ini dapat berakibat kehilangan atau penurunan hasil. Selain itu serangan organisme pengganggu tersebut juga berdampak menurunkan kualitas pohon yang diserangnya serta mampu menggerek pucuk atau batang dan hama perusak akar. Sehingga dengan adanya serangan oleh organisme pengganggu ini diadakan pengendalian hama terpadu salah satunya dengan penggunaan insektisida. Insektisida merupakan bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh organisme pengganggu dalam hal ini serangga. Insektisida mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serangga. Tidak hanya itu kegunaan dari insektisida, insektisida juga mampu mempengaruhi tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta biologis lainnya yang mampu menyebabkan kematian pada serangga pengganggu tanaman. Dengan adanya insektisida yang mampu membantu manusia mengusir serangga menyebabkan pemakaian insektisida oleh beberapa orang melebihi dosis yang telah ditentukan sehinngga menyebabkan serangga kebal dari insektisida sebagai akibat pemakaian melebihi dosis. Dosis merupakan jumlah insektisida yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman persatuan luas tertentu atau per pohon yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Untuk mengetahui dosis umumnya dapat dilihat label tertera pada kemasan pestisida, perhatikan petunjuk penggunaannya sehingga pada waktu aplikasi tidak terjadi kesalahan dan usaha pengendalian membuahkan hasil. Selain dosis juga ada beberapa hal yang penting untuk diketahui seperti bahan aktif. Bahan aktif merupakan bahan utama yang secara biologis bersifat sebagai insektisida. Sedangkan dosis bahan aktif merupakan banyaknya bahan aktif insektesida yang diperlukan untuk pencampuran pada setiap satuan volume zat pelarut (dapat pula diartikan kadar bahan aktifnya). Bahan aktif dan beberapa zat seperti pelarut dan surfaktan merupakan bahan secara mendasar dalam komponen formulasi. Formulasi insektisida yang digunakan dalam pengawetan kayu dan pengendalian hama hasil hutan pada umumnya adalah dalam bentuk penyemprotan (Sprays dan pencelupan (Dippling) yang terdiri dari EC (Emulsible concentrates), EC (Emulsible concentrates) merupakan larutan pekat pestisida yang diberi Emulsifier (bahan pengemulsi) untuk memudahkan penyampurannya yaitu agar terjadi suspensi dari butiran-butiran kecil minyak dalam air. Selain EC (Emulsible concentrates). Ada juga S (Solution, larutan dalam air) merupakan larutan garam dalam air atau campuran yan jernih walaupun semula mengandung cairan lain misalnya alkohol yang dapat bercampur dengan air. Selain itu ada juga Dust (D), Dust merupakan formulasi insektisida yang paling sederhana dan paling mudah digunakan. Salah contoh yang paling sederhana ialah tepung belerang yang mampu meekan semua populasi serangga. Fumigan juga termasuk dalam salah satu formulasi salah satu contohnya Kloropikrin untuk Cryptotermes serta terdapat juga formulasi dalam bentuk umpan (baits). Perbedaan dari formulasi ini untuk membedakan spesialisasi terhadap jenis serangga-serangga tertentu, misalnya jenis Rayap Cryptotermes dapat dikendalikan dengan Dusting. Insektisida dapat dibedakan menjadi jenis golongan organik dan anorganik. Insekstisida organik mengandung unsur karbon sedangkan insektisida anorganik tidak mengandung karbon. Insektisida organik umumnya bersifat alami, yaitu diperoleh dari makhluk hidup sehingga disebut insektisida hayati. Beberapa Insektisida dilihat dari jenisnya antara lain Insektisida sintetik, Insektisida sintetik merupakan Insektisida organik sintetik yang banyak dipakai dibagi-bagi lagi menjadi beberapa golongan besar. Selain ini ada juga Senyawa Organofosfat, Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan penambahan fosfat. Insektisida sintetik yang masuk dalam golongan ini adalah Chlorpyrifos, Chlorpyrifos-methyl, Diazinon, Dichlorvos, Pirimphos-methyl, Fenitrothion, dan Malathion. Terdapat juga senyawa Organoklorin, Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan penambahan klorin. Contoh-contoh insektisida golongan organoklorin adalah Lindane, Chlordane, dan DDT. Terdapat juga Karbamat, Insektisida golongan karbamat diketahui sangat efektif mematikan banyak jenis hama pada suhu tinggi dan meninggalkan residu dalam jumlah sedang. Terdapat juga Fumigan, Fumigan merupakan gas-gas mudah menguap yang dapat membunuh hama serangga. Selain jenis-jenis diatas terdapat juga Insektisida hayati, insektisida ini dikenala senyawa sintetik namun terdapat juga insektisida alami yang berasal dari bakteri, pohon maupun bunga. Beberapa contoh insektisida hayati seperti Silica (SiO2) merupakan insektisida anorganik yang bekerja dengan menghilangkan selubung lilin pada kutikula serangga sehingga menyebabkan mati lemas. Terdapat juga Asam Borat, insektisida ini dapat dipakai untuk menarik perhatian semut. Terdapat juga Pirethrum, Pirethrum adalah insektisida organik alami yang berasal dari kepala bunga tropis krisan. Terdapat juga Neem, Neem merupakan ekstrak dari pohon Neem (Azadirachta indica). Penggunaan Neem sebagai insektisida hayati dimulai sejak 40 tahun lalu. Dan Bakteri Bacillus thuringiensis, Bakteri ini memproduksi toksin Bt yang dapat mematikan serangga yang memakannya. Penggunaan jenis-jenis insektisida ini tentunya ada cara pemakaiannya. Cara pemakaian (Application Methods) diantaranya penyemprotan, hal ini metode yang paling banyak digunakan. Pada umumnya 100-200 liter enceran insektisida per Ha. Paling banyak adalah 1000 liter/Ha sedang paling kecil 1 liter/Ha seperti pada ULV. Terdapat juga cara pemakaian Dusting hal ini untuk hama rayap kayu kering Cryptotermes, Duting sangat efisien bila dapat mencapai koloni karena racun dapat menyebar sendiri melalui efek perilaku trofalaksis. Selain Dusting terdapat juga cara penuangan atau penyiraman (Pour on) misalnya untul membunuh sarang (koloni) semut, rayap, serangga tanah di persemaian. Cara lain yang dapat digunakan adalah injeksi batang, dengan insektisida sistematik bagi ham batang, daun, penggerek dan lain-lain. Terdapat juga Dipping, cara ini dengan perendaman atau pencelupan seperti untuk biji atau benih dan kayu. Cara selanjutnya ada;ah Fumigasi, hal ini dengan cara penguapan, misalnya pada hama gudang atau hama kayu. Cara pemakaian insektisida selanjutnya adalah Impregnasi, metode ini dengan tekanan (Pressure) misalnya dalam pengawetan kayu. Cara pemakaian ini merupakan salah satu tahap untuk melumpuhkan atau mematikan organisme pengganggu. Dalam mematikan organisme serangga, insektisida meggunakan cara-cara seperti Insektisida yang menyerang lambung terlebih dahulu. Insektisida mempunyai cara dalam mematikan atau melumpuhkan organisme pengganggu. Cara kerja insektisida diantaranya, Insektisida lambung atau perut, Insektida ini hanya mempunyai daya bunuh setelah lebih dahulu dimakan oleh serangga hama, karena bahan aktif atau racun akan bekerja dalam perut. Terdapat juga insektisida kontak, Insektisida ini akan meracun serangga hama apabila serangga hama ini menyentuh insektisida ini atau bagian tanaman yang disemprot dengan insektisida ini. Racun atau bahan aktif akan meresap ke dalam tubuh serangga melalui kulit luar, kemudian bekerja di dalam tubuh sehingga serangga akan mati. Selain insektisida kontak terdapat juga Insektisida sistematik, Insektisida ini dapat ditranslokasikan melalui jaringan tanaman. Serangga hama akan mati apabila menghisap atau memakan jaringan tanaman tersebut. Selain tiga kerja diatas terdapat juga Insektisida fumigan, Insektisida ini akan membunuh serangga apabila serangga menghisap bahan insektisida ini. Insektisida ini masuk ke tubuh serangga melalui sistem pernafasan. Dengan cara-cara diatas mampu meminimalisir organisme pengganggu tanaman pada hutan alam maupun hutan tanaman serta mampu memberikan manfaat yang jauh lebih berkualitas pada produktivitas yang dihasilkan.

Masa Bera

Hutan merupakan kawasan yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh pepohonan dengan luasan tertentu. Masuknya kepentingan manusia seperti pengambilan hasil hutan karena tekanan penduduk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang semakin besar, mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif. Tentunya dengan semakin banyaknya penduduk yang tergantung pada hutan tidak menutup kemungkinan untuk semakin besarnya peluang kerusakan pada hutan dan hal inilah yang terjadi pada wajah hutan Indonesia. Dengan kegiatan yang tanpa sengaja dapat merusak hutan yang dilakukan oleh para penduduk didalam hutan seperti meninggalkan bekas api unggun yang membara di hutan, pembuatan arang di hutan, membuang puntung rokok sembarangan di hutan, dapat menyebabkan kerusakan hutan lebih jelasnya kebakaran hutan dan dengan adanya kebakaran hutan menyebabkan tanah menjadi kering dan tentunya dapat menyebabkan kekurangan air pada lahan yang terkena kebakaran. Ketika tanah kekurangan air atau bahkan tidak ada kandungan air menyebabkan tanah memerlukan massa istirahat atau dengan kata lain tanah belum bisa ditanami apapun karena tanah masih belum mampu memberikan hara dan air untuk pertumbuhan tanaman dan masa inilah yang disebut dengan Masa Bera. Pada masa bero ini lahan tidak memberikan manfaat dan tentunya tidak dapat memproduksi apapun karena harus dalam masa pemulihan untuk menjadi sedia kala. Dengan adanya masa bero ini tentunya dapat menurunkan keanekaragaman tanah seperti unsur hara yang ada didalamnya hilang ssehingga akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan pastinya akan berdampak pada produktivitas tanah. Lahan seperti ini tentunya harus ada pengatasan untuk memulihkannya kembali seperti sedia kala. Sebagai tempat pengembalaan ternak merupakan salah satu cara untuk mempercepat peningkatan kesuburan tanah. Dengan adanya ternak yang dijemur atau mencari makan dilahan yang mengalami masa bero tentunya mereka akan mengeluarkan kotoran. Dan dari kotoron hewan inilah akan mampu menghasilkan pupuk kompos yang tanpa sengaja akan menjadikan lahan dalam masa bero akan pulih kembali seperti sedia kala dan tentunya akan meningkatkan kesuburan tanah. Pada waktu 2-4 bulan tanah masa bero dibiarkan dengan sendirinya dan tentunya dengan hunian ternak mampu meningkatkan lagi fungsi tanah akan tetapi belum bisa maksimal seperti sebelum adanya lahan yang rusak. Akan tetapi dengan adanya cuaca yang mendukung disaat terjadi masa bero seperti hujan menjadi salah satu faktor penentu cepatnya kesuburan dan fungsi tanah seperti sedia kala. Hal-hal diatas merupakan strategi manajemen lahan untuk memulihkan daya dukung tanah tersebut. Dalam penelitian masa bera pada sistem agroforestri, Pengaruh langsung dari keberadaan tajuk dalam sistem agroforestri adalah luas naungan dan intensitas cahaya dalam sistem tersebut. Cahaya sebagai sumberdaya yang tak dapat disimpan sangat berpengaruh terhadap perkembangan tanaman semusim khususnya dalam bidang olah. Cahaya yang cukup memungkinkan bidang olah untuk menghadirkan komponen tanaman semusim, begitu sebaliknya. Menurut Suryanto (2005) keberhasilan sistem agroforestri sangat ditentukan dalam manajemen cahaya sehingga budidaya sistem agroforestri sama dengan budidaya cahaya sehingga hal yang terkait disini adalah kepadatan tajuk(Crown density) dan transparansi tajuk (Foliage transparancy). Kedua kunci ini sifatna saling berkebalikan yaitu apabila nilai kepadatan tajjuknya maka nilai transparansi tajuk akan turun dan begitu juga sebaliknya. Kecenderungan kepadatan tajuk yang berpengaruh terhadap kondisi bera dalam sistem agroforestri dapat disimpulkan dengan rumus Y = 0,747Ln(X) + 1,7899 dengan Y adalah kepadatan tajuk dan X adalah luas lahan. Pada berbagai situasi bera sangat nyata perbedaan status cahanyanya, sistem agroforstri semakin mengarah pada kondisi bera berat maka akan dicirikan dengan semakin rendahnya intensitas cahaya dan semakin ringan tingkat bera maka akan mempunyai intensitas cahaya yang lebih tinggi. Kecenderungan intensitas cahaya pada setiap model bera dapat disimpulkan dengan rums Y = 109386e^-1,3466X dengan Y adalah intensitas cahaya dan X adalah luas lahan. Penelitian Nuripto dan Ginting (1996) pada masyarakat adat Benuaq di Kalimantan Timur melaporkan bahwa siklus masa bero atau masa mengistirahatkan lahan 1-2 tahun menghasilkan boaq yang merupakan suksesi pertama setelah masa tanam. Masa bero 5-10 tahun pada lahan disebut Klaka tuhaq yaitu suksesi yang ditandai hadirnya tanaman pioner berdiameter 20-30 cm, hingga mencapai bengkar atau hutan tua bila telah mencapai lebih dari 100 tahun. Jika dalam hutan sekunder masa bera dapat diklasifikasikan berdasarkan umur hutan sekunder tersebut maka dapat dikelompokkan seperi dibawah ini yakni : 1. Hutan sekunder tua dengan masa bera 10-15 tahun 2. Hutan sekunder muda dengan masa bera 5-10 tahun 3. Hutan sekunder termuda dengan masa bera < 5 tahun.

“Perladangan Berpindah dan Perambahan Hutan”

Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai iklim tropis yang sangat menguntungkan bagi masyarakatnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dari keuntungan ini masyarakat Indonesia sangat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di bangsa yang penuh dengan keanekaragaman hayati ini. Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) dibutuhkan suatu kearifan dan menjaga keseimbangan; pilihan yang lestari, untuk memenuhi kebutuhan sekarang maupun generasi mendatang. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam seperti lahan pertanian diperlukan perencanaan dan penanganan yang tepat dan bertanggung jawab, agar lahan tersebut tidak terdegradasi dan tetap memberikan keuntungan. Degradasi lahan untuk tanah-tanah tropis umumnya disebabkan oleh erosi. Penanggulangan erosi telah banyak dilakukan dan dikembangkan melalui tekonologi-teknologi konservasi tanah dan air. Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami. Perladangan berpindah (Shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun berdasarkan pengalaman masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktikkan secara turun menurun. Pada umumnya di Kalimantan ada beberapa tahapan yang dilakukan sebelum melakukan perladangan berpindah diantaranya Internal meeting, tahapan ini merupakan tahap awal yang akan dilakukan pleh penduduk suatu daerah atau pemukiman. Mereka akan melakukan pertemuan untuk bermusyawarah untuk melakukan perladangan berpindah secara bersama-sama. Setelah menemukan mufakat tahapan kedua yaitu Eksternal meeting, pada tahapan ini mufakat suatu pemukiman akan melakukan pertemuan dengan pemukiman atau kampung lain untuk berdiskusi. Pada tahapan kedua ini dilakukan untuk menghindari overlapping area dan mencegah berbagai hal-hal yang tidak diinginkan dengan kampung tetangga. Tahapan selanjutnya yaitu upacara penanaman padi. Hal ini pada umumnya memerlukan sesajen sebagai persembahan pada penghuni ladang yang akan dibuat, hal ini terjadi karena mereka masih menganut kepercayaan mereka. Setelah tahapan ini selesai maka tahapan selanjutnya pembukaan lahan, pada tahapan ini kegiatan pembukaan areal hutan atau gunung dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat sesuai mufakat yang telah dilakukan sebelumnya. Tahapan selanjutnya pembakaran kawasan yang akan dijadikan lahan perladangan. Pembakaran pada umumnya dilakukan secara hati-hati oleh masyarakat agar api tidak merambah pada area atau hutan yang masih alami.tahapan selanjutnya yaitu penanaman, sebelum penanaman telah melakukan penaburan benih awal di tempat lain sehingga bibit siap di tanam.selanjutnya yaitu Maintenance, pada tahapan ini melu=iputi pembersihan rumput dan gulma lainnya agar pertumbuhan tanaman yang ditanam menjadi lebih baik. Pada tahapan selanjutnya yang selalu ditunggu oleh masyarakat perladangan berpindah yaitu panen dan pada umunya setelah panen masyarakat akan melakukan pesta. Setelah lahan area umurnya tua maka tahapan selanjutnyaakan ditanam pohon lokal seperti Shorea spp. Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara perladangan berpindah dengan : 1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal 2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah 3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Berbagai hasil penelitian, dengan dasar yang berbeda, akan menghasilkan suatu yang positif dan negatif. Beberapa contoh dampak dari perladangan berpindah diantaranya. Terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa hampir 100 % sungai yang terdapat pada pulau-pulau kecil mengalami penurunan debit air yang drastis, bahkan pada musim panas banyak sungai mengalami kekeringan. Selain itu pada musim hujan, selalu terjadi banjir dan erosi yang mampu mengikis dan mengangkut ribuan ton tanah permukaan ke sungai dan laut sehingga terjadi pendangkalan sungai dan gangguan ekosistem laut. Selain itu dampak dari perladangan berpindah ini adalah Terjadi penurunan drastis kesuburan tanah. Kondisi di lapangan menunjukan bahwa bekas-bekas areal berladang telah menjadi semak belukar ataupun padang alang-alang. Pada pulau-pulau kecil dengan kondisi ekosistem yang miskin vegetasi atau lahannya terbuka maka ketika musim hujan, banyak lapisan tanah permukaan yang terkikis dan hanyut, sehingga kondisi kesuburan tanah menjadi menurun. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi kesuburan tanah secara umum pada daerah-daerah terbuka berbeda 40 – 60 % terhadap lahan hutan primer. Tidak hanyai itu namun dapat Terjadi perubahan iklim dan yang paling drastis adalah kondisi iklim mikro dimana suhu meningkat rata-rata sebesar 1 – 3 oC dengan penurunan kelembaban relatif sebesar 5 – 10 %. Selain itu dari aspek iklim makro telah terjadi perubahan pola musim, dimana musim hujan dan musim panas sudah tidak konstan sesuai kalender musimnya. Dampak adanya perladangan berpindah selajutnya mampu menciptakan gangguan habitat satwa, dimana lebih disebabkan oleh perubahan kondisi vegetasi sebagai akibat perladangan berpindah dan hal ini berpengaruh signifikan terhadap habitat satwa. Akibatnya ekosistem hutan yang sebelumnya merupakan tempat makan, minum, bermain dan tidur menjadi terganggu, sehingga satwa cendrung bermigrasi ke tempat lain, ataupun memilih tetap bertahan dengan kondisi cover yang terganggu. Dan juga mampu menurunkan biodiversitas, yang secara umum disebabkan perladangan yang dilakukan dengan cara tebang habis dan bakar sehingga banyak spesies langka atau endemik juga ikut musnah. Sampai sejauh ini walaupun belum diteliti dampak perladangan terhadap kepunahan spesies, namun dari pendekatan Indeks Shannon-Wienner menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai keragaman spesies pohon sebesar 10 % dibandingkan hutan primer yang berada disekitar lokasi penebangan. Hal ini disebabkan beberapa spesies pohon toleran (kurang butuh cahaya) cenderung menghilang dari habitatnya sebagai akibat meningkatnya intensitas cahaya. Beberapa cara mengatasi berbagai dampak yang disebabkan oleh perladangan berpindah diantaranya membuat pemerintah pusat maupun daerah untuk menangani permasalahan laju perladangan berpindah terlebih dahulu, agar dapat disusun perencanaan yang tepat dan terarah dalam rangka penanggulangannya. Karena apapun juga pemerintah telah diperhadapkan dengan realitas kondisi bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi kuat dengan kerusakan ekosistem. Selanjutnya dapat juga dengan regulasi berupa peraturan daerah yang dapat mengatur tentang pelaksanaan dan pengendalian laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini sangat penting agar para peladang dapat memahami secara jelas tentang batasan-batasan dan prosedur praktek perladangan yang menjamin kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari adanya peraturan daerah berarti akan diatur pula sanksi-sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek perladangan dapat dilakukan secara terkontrol. Cara lain dengan Pengembangan model agroforestry. Menurut teori bahwa perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model utama, yaitu pengalihan profesi peladang, pengembangan model pertanian menetap dan model agroforestry. Berdasarkan ke 3 model ini, bila dikaji lebih jauh ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak berhasil karena persoalan budaya. Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang mereka. Selain itu pertanian menetap juga sulit untuk diterapkan karena membutuhkan modal (input) yang besar bagi penerapannya. Sementara itu model agroforestry nampaknya mudah dan sederhana untuk diaplikasi karena membutuhkan hanya sedikit modal, tetapi hutan yang akan terbentuk nanti selama masa bera adalah hutan yang nanti memiliki nilai ekonomi dan konservasi yang tinggi. Cara terakhir adalah peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung aplikasi ke 3 model utama pengendalian perladangan diatas. Untuk itu pendidikan, training dan latihan bagi peladang untuk peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sangat dibutuhkan bagi kerberhasilan pelaksanaan dari model yang ditawarkan nanti. Realita telah menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem hutan salah satu penyebabnya adalah perladangan berpindah. Terdapat banyak hutan alam telah berubah menjadi ladang bahkan pada pulau-pulau kecil tertentu, sudah tidak dijumpai hutan. Kebanyakan hutan hanya dijumpai dalam bentuk spot-spot hutan sekunder. Oleh karena itu maka tiada kata lain untuk melakukan langkah-langkah pengendalian hutan secara lestari agar generasi selanjutnya dapat melihat hutan yang dapat dimanfaatkan secara Sustainable.